Sejarah, selalu menjadi hal yang menarik untuk diperbincangkan, apalagi jika sejarah tersebut menyangkut daerah tempat tinggal kita, sudah pasti memiliki daya tarik tersendiri untuk kita telusuri. Demikianlah yang admin rasakan, sehingga menggugah kami googling, mencari-cari apakha ada sejarah menyangkut Pandaan yang bisa kami dapat untuk disampaikan kepada anda. Telusur-telusur, akhirnya kami mendapatkan satu website yang mengangkat sejarah Pasuruan, yang sudah pasti terdapat sejarah Pandaan di dalamnya.
Dari situ, disebutkan bahwa asal mula kata Pandaan (Pandakan) berasal dari kata paundak-undakan, atau berundak-undak, merupakan daerah yang bertebing, dan sudah terkenal sejak dahulu sebagaimana dipetik dari Terjemahan K.J. Padmapuspita (Jogjakarta, Taman Siswa, 1966) hal 70-79.
Untuk sejarah lebih lengkap, ini dia anda dapat membacanya dibawah ini. Dan untuk mengakses sumber tulisan, anda dapat klik DISINI.
Pandakan atau Pandaan
Pandakan berasal dari kata paundak-undakan merupakan daerah yang bertebing, merupakan daerah yang terkenal sejak dahulu sebagaimana dipetik dari Terjemahan K.J. Padmapuspita (Jogjakarta, Taman Siswa, 1966) hal 70-79. Sebagai berikut, ...Sri Ranggawuni meninggalkan seorang anak laki-laki, bernama Sri Kertanegara; Mahisa-Cempaka meninggalkan seorang anak laki-laki juga, bernama Raden Wijaya. Kertenegara menjadi raja, bernama Batara Siwabudha. Adalah seorang hambanya, keturunan orang tertua di Nangka (Nangkajajar), bernama Banyak-Wide, diberi sebutan Arya Wiraraja, rupa-rupanya tidak dipercaya, dijauhkan, disuruh menjadi adipati di Sungeneb, bertempat-tinggal di Madura sebelah timur. Ada patihnya, pada waktu ia baru saja naik ke atas tahta kerajaan, bernama Empu Raganata ini selalu memberi nasehat untuk keselamatan raja, ia tidak dihiraukan oleh Sri Kertanegara; karenanya itu Mpu Raganata meletakkan jabatan tidak lagi menjadi patih, diganti oleh Kebo Tengah sang A Panji Aragani. Mpu Raganata lalu menjadi adyaksa di Tumapel. Sri Kertanegara pada waktu memerintah, melenyapkan seorang kelana (musafir) bernama Baya. Sesudah kelana itu mati, ia memberi perintah kepada hamba rakyatnya, untuk pergi menyerang Melayu. Apanji Aragani menghantarkan, sampai di Tuban ia kembali, datangnya di Tumapel sang A Panji Aragani mempersembahkan makanan berhari-hari; raja Kertanegara bersenang-senang. Ada perselisihan dengan raja Jayakatong, raja di Daha; ini menjadi musuh raja Kertanegara; karena lengah terhadap usaha musuh yang sedang mencari kesempatan dan waktu tepat, ia tidak memikir kesalahannya. Banyak Wide berumur empat puluh tahun pada peristiwa penyerangan Melayu itu; ia berteman dengan raja Jayakatong; Banyak Wide yang bergelar Arya Wiraraja itu dari Madura mengadakan hubungan dan berkirim utusan. Demikian juga raja Jayakatong berkirim utusan ke Madura. Wiraraja berkirim surat kepada raja Jayakatong, bunyi surat; "Tuanku, patih baginda bersembah kepada paduka raja, jika paduka raja bermaksud berburu ditanah lapang lama, hendaknyalah paduka raja sekarang pergi berburu, karena ini adalah kesempatan yang baik sekali, tak ada bahaya, tak ada harimau, tak ada banteng, dan ularnya, durinya; ada harimau, tetapi tak bergigi". Patih tua Raganata itu yang dinamakan harimau tidak bergigi, karena sudah tua. Sekarang raja Jayakatong berangkat menyerang Tumapel. Tentaranya yang datang dari sebelah utara Tumapel terdiri dari orang-orang yang tidak baik, bendera dan bunyi-bunyian penuh, rusaklah daerah sebelah utara Tumapel, mereka yang melawan banyak yang menderita luka. Tentara Daha yang melalui jalan utara itu berhenti di Memeling. Batara Siwa-Buda senantiasa minum-minuman keras diberitahu, bahwa diserang dari Daha, ia tidak percaya, selalu mengucapkan kata: "Bagaimana dapat raja Jayakatong demikian terhadap kami, bukankah ia telah baik dengan kami" Setelah orang membawa yang menderita luka, barulah ia percaya. Sekarang Raden Wijaya ditunjuk untuk berperang melawan tentara yang datang dari sebelah utara Tumapel, disertai oleh para arya terkemuka: Banyakkapuk, Ranggalawe, Pedang, Sora, Dangdi, Gadjahpagon, anak Wiraraja yang bernama Nambi, Peteng dan Wirot, semua itu prajurit baik, melawan tentara Daha di bagian utara, serentak mengamuk, bersama-sama, terpaksa larilah orang-orang Daha yang melalui utara itu, dikejar dan diburu oleh Raden Wijaya. Kemudian turunlah tentara besar dari Daha yang datang dari tepi Sungai Aksa, menuju ke Lawor; mereka ini tak diperbolehkan membikin gaduh, tidak membawa bendera, apalagi bunyi-bunyian, sedatangnya di Sidabawana langsung menuju Singasari. Yang menjadi prajurit utama dari tentara Daha sebelah selatan ini, ialah: Patih Daha Kebomundarang, Pudot, dan Bowong. Ketika Batara Siwa-Buda sedang minum-minuman keras bersama-sama dengan patih, maka pada waktu itu ia dikalahkan, semua gugur; Kebotengah yang melakukan pembalasan, meninggal di Manguntur. Raden Wijaya yang diceriterakan ke utara tersebut, diberitahu bahwa Batara Siwa-Budha wafat karena tentara Daha turun dari selatan, patih tua juga telah gugur, semua mengikuti jejak batara. Segera Raden Wijaya kembali, beserta hamba-hambanya, berlari-lari ke Tumapel, melakukan pembalasan, tidak berhasil, bahkan terbalik, dikejar diburu oleh Kebomundarang; Raden Wijaya naik ke atas, mengungsi di sawah miring, maksud Kebo-mundarang akan menusuknya dengan tombak, Raden Wijaya menyepak tanah bekas ditenggala, dada Kebomundarang sampai mukanya penuh lumpur, ia mundur, sambil berkata; "Aduh, memang sungguh dewalah tuanku ini." Sekarang Raden Wijaya membagi-bagi cawat dari kain ikat berwarna merah, diberikan kepada hamba-hambanya, masing-masing orang mendapat sehelai, ia bertekad untuk mengamuk. Yang mendapat bagian ialah Sora, Ranggalawe, Pedang, Dangdi, dan Gadjah. Sora segera menyerang, banyak orang Daha yang mati. Kata Sora: "Sekarang ini, tuan, hendaknyalah menyerang, sekarang baik kesempatan dan saatnya. " Raden Wijaya lekas-lekas menyerang, semakin banyak orang Daha yang mati, mereka lalu mundur, diliputi malam, akhirnya berkubu. Pada waktu sunyi orang telah tidur, dikejar dan diamuk lagi oleh Raden Wijaya, sekarang orang-orang Daha bubar, banyak yang tertusuk oleh tombak temannya sendiri, repotlah orang-orang Daha itu larinya. Batara Siwa-Budha mempunyai dua orang anak perempuan, mereka ini akan dikawinkan dengan Raden Wijaya; demikianlah maksud Batara Siwa-Budha itu; kedua-duanya ditawan oleh orang Daha; puteri yang muda berpisah dengan puteri yang tua, tidak menjadi satu arah larinya, berhubung dengan kerepotan orang-orang Daha, disebabkan Raden Wijaya mengamuk itu. Pada waktu malam tampak api unggun orang Daha bernyala dan besar nyalanya. Didapatilah puteri yang tua disana, kelihatan oleh Raden Wijaya, yang segera dikenal, bahwa itu adalah puteri yang tua. Lekas-lekas diambil oleh Raden Wijaya, lalu berkata; "Nah Sora, marilah mendesak mengamuk lagi, agar dapat bertemu dengan puteri muda." Sora berkata: " Janganlah tuan, bukankah adik tuan yang tua sudah tuan temukan, berapakah jumlah hamba tuanku sekarang ini." Jawab Raden Wijaya." Justeru karena itu". Maka Sora berkata lagi: "Lebih baik tuanku mundur saja, karena kalau memaksa mengamuk, seandainya berhasil, itu baik; kalau adik tuanku yang mudah dapat ditemukan, kalau tidak dapat ditemukan, kita akan seperti anai-anai menyentuh pelita. "Sekarang mereka mundur, puteri bangsawan didukung, semalam-malaman mereka berjalan ke utara, keesokan harinya dikejar oleh orang Daha, terkejar disebelah selatan Talaga-pager (Ranu Grati). Orang-orangnya ganti-berganti tinggal dibelakang, untuk berperang menghentikan orang Daha. Gadjahpagon kena tombak tembus pahanya, tetapi masih dapat berjalan. Kata Raden Wijaya: "Gadjahpagon, masih dapatkah kamu berjalan kalau tidak dapat, mari kita bersama-sama mengamuk. " Masih dapatlah hamba, tuanku, hanya saja hendaknya perlahan-lahan. "Orang-orang Daha tidak begitu giat mengejarnya, kamudian mereka kembali di Telaga-pager. Raden Wijaya masuk belukar seperti ayam hutan, dan hamba-hambanya yang mengiring semua, ganti-berganti mendukung puteri bangsawan. Akhirnya hamba-hambanya itu bermusyawarah, membicarakan tentang keadaan Raden Wijaya. Setelah putus pembicaraannya, semua bersama-sama berkata: "Tuanku, sembah hamba-hamba tuanku semua ini, bagaimana akhir tuanku ayng masuk belukar dan keluar belukar seperti ayam-hutan itu, pendapat hamba semua, lebih baik tuanku pergi ke Madura Timur; hendaknyalah tuanku mengungsi kepada Wiraraja, dengan pengharapan agar ia dapat dimintai bantuan, mustahil ia tidak menaruh belas kasihan, bukankah ia dapat menjadi besar itu karena ayah tuanku almarhum yang menjadi lantarannya." Kata Raden: "Itu baik, kalau ia menaruh belas kasihan, kalau tidak, saya akan sangat malu." Jawab Sora, Ranggalawe dan Nambi, serentak dengan suara bersama: "Bagaimana dapat Wiraraja melengos terhadap tuanku." Itulah sebabnya Raden Wijaya menurut kata-kata hambanya. Mereka keluar dari dalam hutan, datang di PANDAKAN, menuju ke orang tertua di pandakan, bernama Macan-kuping: "Raden Wijaya minta diberi kelapa muda, setelah diberi, lalu diminum airnya, ketiak dibelah, ternyata berisi nasi putih. Heranlah yang melihat itu. Kata orang: "Ajaib benar, memang belum pernah ada kelapa muda berisi nasi". Gadjahpagon tidak dapat berjalan lagi, kata Raden Wijaya: "Orang tertua di PANDAKAN, saya menitipkan satu rang; Gadjahpagon ini tak dapat berjalan, hendaknya ia tinggal di tempatmu," Kata orang PANDAKAN: "Aduh, tuanku, itu akan tidak baik kalau sampai terjadi Gadjahpagon didapati di sini, mustahil akan ada hamba yang menyetujui di PANDAKAN, kehendak hamba, biarlah ia berada di dalam pondok di hutan saja, di ladang tempat orang menyabit ilalang, di tengah-tengahnya setelah dibersihkan, dibuatkan sebuah dangau, sunyi, tak ada seorang hamba yang mengetahui, hamba di Pandakan nanti yang akan memberi makan tiap-tiap hari".
Usul.....gmana klo di tambah sejarah Pemerintahan,sekedar buat warga pandaan supaya mengerti / mengenal lebih dalam tentang Pandaan :o)
BalasHapuscritanya terlalu panjang dan sulit dimengerti:s
BalasHapus